Sabtu, 22 April 2023

28 Agustus 2022 Mengikuti Suara Yesus : Rendah Hati dan Tulus

 Kita sebagai pengikut Kristus tidak hanya mendengarkan suara-Nya saja, tapi juga mengikutinya, berarti meneladan Yesus, berbuat kasih seperti yang telah Yesus ajarkan kepada kita. Minggu ini, Yesus mengajarkan kepada kita untuk mempunyai kerendahan hati dan ketulusan, yang sesungguhnya merupakan dua sisi dari mata uang.

Kerendahan hati seperti apa yang dikehendaki Yesus? Rendah hati kepada sesama? Rendah hati kepada Tuhan? Tunggu dulu, bukankah kita selalu merendahkan diri di hadapan Tuhan? Kualitas rendah hati ditentukan saat kita menaruh kepentingan orang lain di atas kepentingan kita. Jadi, rendah hati di hadapan Tuhan berarti kita menyerahkan diri kita pada rencana Tuhan, bukan kita yang mengatur Tuhan sesuai kehendak kita. Seperti yang diteladankan oleh Bunda Maria, “aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu” Kalimat yang begitu rendah hati dan tulus yang diucapkan oleh Bunda Maria, saat ia tidak paham apa yang sedang terjadi. Terkadang, saat kita merefleksikan kejadian dalam hidup kita, terutama di tengah berbagai tantangan yang kita hadapi, terlontar ucapan, ‘apa ya yang sudah saya lakukan?’ dan selanjutnya ‘mengapa ini semua terjadi pada saya?’ Saat kita sudah melakukan segala sesuatu dengan baik dan penuh kerendahan hati dan ketulusan, namun hasil berkata lain, kita kecewa. Berarti kita belum rendah hati dan tulus. Seseorang yang rendah hati akan menganggap dirinya hamba dan tidak layak mendapatkan imbalan. Demikian pula dengan orang tulus, tak akan kecewa saat apa yang dikerjakannya tidak sesuai harapannya.

Sudah rendah hatikah saya di hadapan Tuhan? Saat segala sesuatu berjalan tidak sesuai yang saya harapkan, saya berusaha dengan sekuat tenaga mewujudkannya dan meminta Tuhan membantu agar keinginan tadi terwujud. Siapakah yang harus dilayani di sini? Socrates pernah berkata, “Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak untuk dihidupi.” Pernahkah saya berhenti sejenak di tengah kegagalan saya, merefleksikan apa yang Tuhan kehendaki sesungguhnya? Bukan, apa yang belum saya lakukan dan mengapa Tuhan tidak membantu saya mewujudkannya?

Demikian juga kerendahan hati dan ketulusan kita terhadap sesama kita. Yang menjadi dasar sekali lagi, ketika kita menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan kita, tulus sebagai hamba tidak menuntut imbal balik. Bagaimana relasi kita dengan pasangan kita? Saya berbuat baik kepada pasangan saya, agar ia mau berbuat baik kepada saya. Apakah itu sudah rendah hati dan tulus? Bagaimana relasi kita dengan anak kita? Papa sudah bekerja keras seharian, kamu seharusnya nurut dong, kamu seharusnya berprestasi dong, koq malah bikin Papa lebih cape lagi? Jadi, kita bekerja agar kita mendapat imbalan anak-anak yang baik dan berprestasi? Bagaimana sikap kita sebagai anak? Aku udah cape belajar di sekolah, Bu kenapa Ibu suruh aku pula yang mengerjakan pekerjaan rumah? Kenapa aku ga boleh main ama teman-temanku? Jadi, kita belajar agar dapat bermain dan bersantai-santai?

Rendah hati dan tulus seperti hamba, itulah tolak ukur kerendahan hati dan ketulusan kita, entah itu menyangkut hubungan kita dengan Tuhan atau hubungan kita dengan sesama. Semoga kita semua diberikan kekuatan Roh Kudus dalam menjalankan tugas perutusan kita ini, menjadi rendah hati dan tulus. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar