Sabtu, 22 April 2023

26 Februari 2023 Firman Tuhan : Pelita Bagi Hidup Kita

 Tak terasa kita sudah memasuki masa puasa. Pada masa puasa ini kita kembali diingatkan untuk bertobat dan mempersiapkan Paskah. Melalui Mazmur hari ini kita diingatkan juga bahwa pertobatan dengan mempersembahkan hati yang hancur dan remuk tidak akan dipandang hina oleh Tuhan. Hal apa sajakah yang bisa kita lakukan dalam masa pertobatan ini?

Melalui bacaan Injil dan bacaan pertama, kita melihat bagaimana teladan Yesus yang sungguh berkebalikan dengan Adam. Ada tiga sikap Yesus yang dapat kita teladani melalui peristiwa pencoban di padang gurun. Yang pertama, Yesus mengutamakan firman Allah ketimbang kenyamanan. Pada kitab Kejadian, Allah juga telah menyampaikan firman-Nya, bagaimana manusia tidak boleh memakan buah dari pohon yang ada di tengah taman. Namun, manusia mengabaikan firman Tuhan, dan menuruti kenyamanannya (dilihatnya baik dan sedap). Meluangkan waktu beberapa menit dalam sehari untuk membaca firman Tuhan, terkadang tidak kita lakukan. Alasan yang kita kemukakan pun bermacam-macam, ah kalau pagi gak keburu Tuhan, nanti terlambat ke sekolah atau kantor. Kalau siang? Masa gak sempetin makan siang, kan butuh tenaga juga. Pulang sekolah atau kantor? Ngerjain tugas dong, kerja kelompok, oh ada meeting di gereja, ada pertemuan lingkungan, ada ketemuan ama teman yang udah lama gak pernah ketemu. Akhirnya tibalah malam hari, munculah alasan ngantuk dan ketiduran yang kita kemukakan, dan berakhirlah hari itu tanpa membaca firman Tuhan dan direfleksikan. Kalau iseng kita hitung, seberapa lama sih waktu yang kita habiskan untuk menonton film, browsing, melihat social media dalam 1 hari?

Kalau sekedar hapal firman Tuhan, iblis pun bisa melakukannya. Hal tersebut dapat kita lihat ketika iblis mengatakan kepada Yesus, "Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu." (Mat 4 :6) yang sesungguhnya iblis sebutkan dari Mzm 91 : 11-12 Bisa kita lihat bagaimana lihainya iblis dalam mempermainkan firman Allah untuk menjadi sebuah alasan, menjadi sebuah senjata untuk menyerang orang lain, tenang aja Tuhan baik koq, sekali tidak baca firman Allah juga tidak akan mati.

Bagaimana dengan Yesus, teladan sejati kita semua? Yesus tidak hanya tau firman Allah, Dia juga melaksanakannya. Jadi, Ketika kita hanya tau firman Allah, dan mencomotnya untuk berbagai kepentingan diri sendiri, apa bedanya kita dengan iblis?

Teladan Yesus kedua, sadar akan situasi yang dihadapi dan merefleksikan dengan firman Allah yang tepat. Bukan sok jagoan dan ingin membuktikan firman Allah yang hanya sepotong-sepotong seperti iblis. Apakah kita sering mendengar ‘mintalah apa saja yang kamu kehendaki , dan kamu akan menerimanya’ (Yoh 15 :7) Ayat andalan ketika kita ingin doa kita dikabulkan Tuhan, Tuhan pasti mengabulkan apapun yang kita kehendaki. Kita lupa, ada kalimat di depannya yang tidak kita refleksikan ‘Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu’ Sudahkah kita tinggal di dalam Tuhan dan firman Tuhan tinggal di dalam kita? Apakah kehendak kita selaras dengan firman Tuhan?

Teladan Yesus yang ketiga, hanya Allah saja yang patut disembah, hanya kepada Allah saja kita baktikan seluruh hidup dan diri kita. Sudahkah kita mengutamakan Allah? Apakah kita masih mengutamakan diri sendiri? Mungkin kita bisa beralasan, ya namanya manusia hidup ya butuh makan. Tentu, Tuhan tidak melarang kita untuk makan. Namun, apakah kita sudah mengikuti proses yang benar dalam mencari rejeki? Apakah nafkah yang kita hasilkan membuat orang lain terampas kesejahteraannya? Apakah kebahagiaan kita hasil dari membuat orang lain menderita?

Memang tidak mudah membaca firman Tuhan, namun bila tidak kita mulai, kapan kita akan mengetahui sabda Allah? Sabda Allah yang konon katanya adalah sabda yang hidup? Sabda yang melintasi jaman, waktu ke waktu dan tetap relevan untuk dilakukan. Demi apa? Tentu demi keselamatan diri kita dan juga orang lain, bukan perkara nyaman dan tidak nyaman, bukan perkara enak dan tidak enak. Semoga di masa Prapaskah ini kita dapat mempersiapkan diri dengan baik, mulai membaca firman, dan yang terpenting melakukan firman itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Amin

28 Agustus 2022 Mengikuti Suara Yesus : Rendah Hati dan Tulus

 Kita sebagai pengikut Kristus tidak hanya mendengarkan suara-Nya saja, tapi juga mengikutinya, berarti meneladan Yesus, berbuat kasih seperti yang telah Yesus ajarkan kepada kita. Minggu ini, Yesus mengajarkan kepada kita untuk mempunyai kerendahan hati dan ketulusan, yang sesungguhnya merupakan dua sisi dari mata uang.

Kerendahan hati seperti apa yang dikehendaki Yesus? Rendah hati kepada sesama? Rendah hati kepada Tuhan? Tunggu dulu, bukankah kita selalu merendahkan diri di hadapan Tuhan? Kualitas rendah hati ditentukan saat kita menaruh kepentingan orang lain di atas kepentingan kita. Jadi, rendah hati di hadapan Tuhan berarti kita menyerahkan diri kita pada rencana Tuhan, bukan kita yang mengatur Tuhan sesuai kehendak kita. Seperti yang diteladankan oleh Bunda Maria, “aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu” Kalimat yang begitu rendah hati dan tulus yang diucapkan oleh Bunda Maria, saat ia tidak paham apa yang sedang terjadi. Terkadang, saat kita merefleksikan kejadian dalam hidup kita, terutama di tengah berbagai tantangan yang kita hadapi, terlontar ucapan, ‘apa ya yang sudah saya lakukan?’ dan selanjutnya ‘mengapa ini semua terjadi pada saya?’ Saat kita sudah melakukan segala sesuatu dengan baik dan penuh kerendahan hati dan ketulusan, namun hasil berkata lain, kita kecewa. Berarti kita belum rendah hati dan tulus. Seseorang yang rendah hati akan menganggap dirinya hamba dan tidak layak mendapatkan imbalan. Demikian pula dengan orang tulus, tak akan kecewa saat apa yang dikerjakannya tidak sesuai harapannya.

Sudah rendah hatikah saya di hadapan Tuhan? Saat segala sesuatu berjalan tidak sesuai yang saya harapkan, saya berusaha dengan sekuat tenaga mewujudkannya dan meminta Tuhan membantu agar keinginan tadi terwujud. Siapakah yang harus dilayani di sini? Socrates pernah berkata, “Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak untuk dihidupi.” Pernahkah saya berhenti sejenak di tengah kegagalan saya, merefleksikan apa yang Tuhan kehendaki sesungguhnya? Bukan, apa yang belum saya lakukan dan mengapa Tuhan tidak membantu saya mewujudkannya?

Demikian juga kerendahan hati dan ketulusan kita terhadap sesama kita. Yang menjadi dasar sekali lagi, ketika kita menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan kita, tulus sebagai hamba tidak menuntut imbal balik. Bagaimana relasi kita dengan pasangan kita? Saya berbuat baik kepada pasangan saya, agar ia mau berbuat baik kepada saya. Apakah itu sudah rendah hati dan tulus? Bagaimana relasi kita dengan anak kita? Papa sudah bekerja keras seharian, kamu seharusnya nurut dong, kamu seharusnya berprestasi dong, koq malah bikin Papa lebih cape lagi? Jadi, kita bekerja agar kita mendapat imbalan anak-anak yang baik dan berprestasi? Bagaimana sikap kita sebagai anak? Aku udah cape belajar di sekolah, Bu kenapa Ibu suruh aku pula yang mengerjakan pekerjaan rumah? Kenapa aku ga boleh main ama teman-temanku? Jadi, kita belajar agar dapat bermain dan bersantai-santai?

Rendah hati dan tulus seperti hamba, itulah tolak ukur kerendahan hati dan ketulusan kita, entah itu menyangkut hubungan kita dengan Tuhan atau hubungan kita dengan sesama. Semoga kita semua diberikan kekuatan Roh Kudus dalam menjalankan tugas perutusan kita ini, menjadi rendah hati dan tulus. Amin.