Senin, 13 November 2023

I Am Not Okay, Ma

 Sudah hampir setahun kejadian Mama stroke. Sudah 2 tahun, Mama dideteksi gejala anxiety. Sejak 2021 itu pula aku merasa lelah secara batin. Ingin rasanya menyerah. Berulang kali kukatakan pada Tuhan, aku sudah tidak mampu lagi.

Ingin kuturun dari salib ini. Tapi, seolah Tuhan bilang hang in there. Aku berdoa supaya Mama sembuh, biar beban yang aku tanggung tidak begitu berat. Namun di perjalanan ziarah, Tuhan bertanya mau apa kamu jika Mamamu tidak sembuh? Aku menangis.

I'm not okay, teman-teman. Di tengah segala kesigapanku, di tengah segala positive thinking ku, di tengah segala senyumku, ada sebuah tangisan darah setiap malam. Kapan semua ini akan berakhir. Hanya Tuhan yang selalu menguatkanku. Namun, berulang-ulang kali aku bertanya kepada-Nya, sampai kapan?

Bermacam-macam alasan aku kemukakan, mungkin Tuhan ingin aku punya hubungan lebih baik dengan Mama. Mungkin Tuhan ingin aku berbela rasa pada keluarga yang punya Mama atau bagian keluarganya yang kena gangguan jiwa.

Apa upahmu bila engkau berbuat baik pada orang yang berbuat baik padamu? Persis seperti itu. Mama yang tanpa ekspresi, terkadang tidak ada inisiatif untuk mengobrol padaku, dan penolakan itu harus kuhadapi sehari dua kali. Lelah, Tuhan. Aku sangat sangat lelah.

Aku menulis ini, supaya menjadi tanda. Semoga aku bisa menimba air kekuatan dan juga kehidupan dari Tuhan.

Sabtu, 22 April 2023

26 Februari 2023 Firman Tuhan : Pelita Bagi Hidup Kita

 Tak terasa kita sudah memasuki masa puasa. Pada masa puasa ini kita kembali diingatkan untuk bertobat dan mempersiapkan Paskah. Melalui Mazmur hari ini kita diingatkan juga bahwa pertobatan dengan mempersembahkan hati yang hancur dan remuk tidak akan dipandang hina oleh Tuhan. Hal apa sajakah yang bisa kita lakukan dalam masa pertobatan ini?

Melalui bacaan Injil dan bacaan pertama, kita melihat bagaimana teladan Yesus yang sungguh berkebalikan dengan Adam. Ada tiga sikap Yesus yang dapat kita teladani melalui peristiwa pencoban di padang gurun. Yang pertama, Yesus mengutamakan firman Allah ketimbang kenyamanan. Pada kitab Kejadian, Allah juga telah menyampaikan firman-Nya, bagaimana manusia tidak boleh memakan buah dari pohon yang ada di tengah taman. Namun, manusia mengabaikan firman Tuhan, dan menuruti kenyamanannya (dilihatnya baik dan sedap). Meluangkan waktu beberapa menit dalam sehari untuk membaca firman Tuhan, terkadang tidak kita lakukan. Alasan yang kita kemukakan pun bermacam-macam, ah kalau pagi gak keburu Tuhan, nanti terlambat ke sekolah atau kantor. Kalau siang? Masa gak sempetin makan siang, kan butuh tenaga juga. Pulang sekolah atau kantor? Ngerjain tugas dong, kerja kelompok, oh ada meeting di gereja, ada pertemuan lingkungan, ada ketemuan ama teman yang udah lama gak pernah ketemu. Akhirnya tibalah malam hari, munculah alasan ngantuk dan ketiduran yang kita kemukakan, dan berakhirlah hari itu tanpa membaca firman Tuhan dan direfleksikan. Kalau iseng kita hitung, seberapa lama sih waktu yang kita habiskan untuk menonton film, browsing, melihat social media dalam 1 hari?

Kalau sekedar hapal firman Tuhan, iblis pun bisa melakukannya. Hal tersebut dapat kita lihat ketika iblis mengatakan kepada Yesus, "Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu." (Mat 4 :6) yang sesungguhnya iblis sebutkan dari Mzm 91 : 11-12 Bisa kita lihat bagaimana lihainya iblis dalam mempermainkan firman Allah untuk menjadi sebuah alasan, menjadi sebuah senjata untuk menyerang orang lain, tenang aja Tuhan baik koq, sekali tidak baca firman Allah juga tidak akan mati.

Bagaimana dengan Yesus, teladan sejati kita semua? Yesus tidak hanya tau firman Allah, Dia juga melaksanakannya. Jadi, Ketika kita hanya tau firman Allah, dan mencomotnya untuk berbagai kepentingan diri sendiri, apa bedanya kita dengan iblis?

Teladan Yesus kedua, sadar akan situasi yang dihadapi dan merefleksikan dengan firman Allah yang tepat. Bukan sok jagoan dan ingin membuktikan firman Allah yang hanya sepotong-sepotong seperti iblis. Apakah kita sering mendengar ‘mintalah apa saja yang kamu kehendaki , dan kamu akan menerimanya’ (Yoh 15 :7) Ayat andalan ketika kita ingin doa kita dikabulkan Tuhan, Tuhan pasti mengabulkan apapun yang kita kehendaki. Kita lupa, ada kalimat di depannya yang tidak kita refleksikan ‘Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu’ Sudahkah kita tinggal di dalam Tuhan dan firman Tuhan tinggal di dalam kita? Apakah kehendak kita selaras dengan firman Tuhan?

Teladan Yesus yang ketiga, hanya Allah saja yang patut disembah, hanya kepada Allah saja kita baktikan seluruh hidup dan diri kita. Sudahkah kita mengutamakan Allah? Apakah kita masih mengutamakan diri sendiri? Mungkin kita bisa beralasan, ya namanya manusia hidup ya butuh makan. Tentu, Tuhan tidak melarang kita untuk makan. Namun, apakah kita sudah mengikuti proses yang benar dalam mencari rejeki? Apakah nafkah yang kita hasilkan membuat orang lain terampas kesejahteraannya? Apakah kebahagiaan kita hasil dari membuat orang lain menderita?

Memang tidak mudah membaca firman Tuhan, namun bila tidak kita mulai, kapan kita akan mengetahui sabda Allah? Sabda Allah yang konon katanya adalah sabda yang hidup? Sabda yang melintasi jaman, waktu ke waktu dan tetap relevan untuk dilakukan. Demi apa? Tentu demi keselamatan diri kita dan juga orang lain, bukan perkara nyaman dan tidak nyaman, bukan perkara enak dan tidak enak. Semoga di masa Prapaskah ini kita dapat mempersiapkan diri dengan baik, mulai membaca firman, dan yang terpenting melakukan firman itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Amin

28 Agustus 2022 Mengikuti Suara Yesus : Rendah Hati dan Tulus

 Kita sebagai pengikut Kristus tidak hanya mendengarkan suara-Nya saja, tapi juga mengikutinya, berarti meneladan Yesus, berbuat kasih seperti yang telah Yesus ajarkan kepada kita. Minggu ini, Yesus mengajarkan kepada kita untuk mempunyai kerendahan hati dan ketulusan, yang sesungguhnya merupakan dua sisi dari mata uang.

Kerendahan hati seperti apa yang dikehendaki Yesus? Rendah hati kepada sesama? Rendah hati kepada Tuhan? Tunggu dulu, bukankah kita selalu merendahkan diri di hadapan Tuhan? Kualitas rendah hati ditentukan saat kita menaruh kepentingan orang lain di atas kepentingan kita. Jadi, rendah hati di hadapan Tuhan berarti kita menyerahkan diri kita pada rencana Tuhan, bukan kita yang mengatur Tuhan sesuai kehendak kita. Seperti yang diteladankan oleh Bunda Maria, “aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu” Kalimat yang begitu rendah hati dan tulus yang diucapkan oleh Bunda Maria, saat ia tidak paham apa yang sedang terjadi. Terkadang, saat kita merefleksikan kejadian dalam hidup kita, terutama di tengah berbagai tantangan yang kita hadapi, terlontar ucapan, ‘apa ya yang sudah saya lakukan?’ dan selanjutnya ‘mengapa ini semua terjadi pada saya?’ Saat kita sudah melakukan segala sesuatu dengan baik dan penuh kerendahan hati dan ketulusan, namun hasil berkata lain, kita kecewa. Berarti kita belum rendah hati dan tulus. Seseorang yang rendah hati akan menganggap dirinya hamba dan tidak layak mendapatkan imbalan. Demikian pula dengan orang tulus, tak akan kecewa saat apa yang dikerjakannya tidak sesuai harapannya.

Sudah rendah hatikah saya di hadapan Tuhan? Saat segala sesuatu berjalan tidak sesuai yang saya harapkan, saya berusaha dengan sekuat tenaga mewujudkannya dan meminta Tuhan membantu agar keinginan tadi terwujud. Siapakah yang harus dilayani di sini? Socrates pernah berkata, “Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak untuk dihidupi.” Pernahkah saya berhenti sejenak di tengah kegagalan saya, merefleksikan apa yang Tuhan kehendaki sesungguhnya? Bukan, apa yang belum saya lakukan dan mengapa Tuhan tidak membantu saya mewujudkannya?

Demikian juga kerendahan hati dan ketulusan kita terhadap sesama kita. Yang menjadi dasar sekali lagi, ketika kita menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan kita, tulus sebagai hamba tidak menuntut imbal balik. Bagaimana relasi kita dengan pasangan kita? Saya berbuat baik kepada pasangan saya, agar ia mau berbuat baik kepada saya. Apakah itu sudah rendah hati dan tulus? Bagaimana relasi kita dengan anak kita? Papa sudah bekerja keras seharian, kamu seharusnya nurut dong, kamu seharusnya berprestasi dong, koq malah bikin Papa lebih cape lagi? Jadi, kita bekerja agar kita mendapat imbalan anak-anak yang baik dan berprestasi? Bagaimana sikap kita sebagai anak? Aku udah cape belajar di sekolah, Bu kenapa Ibu suruh aku pula yang mengerjakan pekerjaan rumah? Kenapa aku ga boleh main ama teman-temanku? Jadi, kita belajar agar dapat bermain dan bersantai-santai?

Rendah hati dan tulus seperti hamba, itulah tolak ukur kerendahan hati dan ketulusan kita, entah itu menyangkut hubungan kita dengan Tuhan atau hubungan kita dengan sesama. Semoga kita semua diberikan kekuatan Roh Kudus dalam menjalankan tugas perutusan kita ini, menjadi rendah hati dan tulus. Amin.

Kamis, 05 Januari 2023

Recuerdame - Is it? Atau Aku Akan Mengingatmu Sepanjang Kubisa


 Hai Hai ^^ Selamat tahun baru 2023 teman-teman.


Ini bukan ngajak melo ya hihihi tapi mau berbagi pemikiran aja dan sekaligus mengajak kita semua bercermin (berefleksi) Konon katanya hidup yang direfleksikan layak dihidupi, kata Socrates ya ^^ bukan kata saya. Kalau kata saya apa yaaa hahaha 'Hidup yang direfleksikan, membawa kedamaian dan kepenuhan diri' - devi pawoko (mimpi kali yeeee, siapa juga mau mengutip hihihi)

Dah balik ke topik ya. Semestinya pemikiran ini saya pernah bagikan ketika teman dekat saya meninggal. Saya merenung. Tiba-tiba teringat film Coco (by Disney) yang mengandung bawang kupas 1 kg itu ya XD Jadi, kalau menurut seluruh indera yang saya punya (yang dikaruniakan Tuhan) dan sejumput akal budi saya, orang meninggal itu kan tinggal roh. Roh itu ya ga punya memori apalagi kemelekatan (awalnya saya sih mikir lebih ekstrim lagi, roh itu tidak punya perasaan, tapi diralat Bejo ya, kayanya make sense juga sih pemikiran dia, Bejo berpendapat Tuhan itu kan Roh, Tuhan bisa mengasihi manusia, mengasihi itu kan bentuk perasaan) Ya akhirnya saya simpulkan kalau roh itu tidak mempunyai kemelekatan.

Jadi, ketika seseorang meninggal, dia ga akan ngotot, kekeuh (seperti contoh film-film ya, entah Coco lah, entah Si Manis Jembatan Ancol lah, entah KKN desa Penari juga :D) "remember me", "i seek for revenge"

Diikuti beberapa kenalan, teman sekolah, suami teman sekolah yang meninggal dan membaca bagaimana kesedihan mereka yang ditinggalkan. Kenangan-kenangan yang diingat dan membangkitkan emosi yang ditinggalkan begitu kuat. 

Kemudian, saya ingat akan Mama. Yes, Mama masih sehat loh tapi ya belum pulih 100% (karena gangguan kejiwaan) Berulang-ulang saya diingatkan pengajaran dr Julianto Simanjuntak, yang kurang lebihnya 'orang dengan gangguan kejiwaan itu tidak bisa kita patok harus bisa pulih 100% ada yang pulih cuma 20%, ada yang 50%, kalaupun >90% dan bahkan 100% itu benar-benar mujizat Tuhan, diterima saja. Namun, saya masih ga rela gitu loh. Merasa tidak bisa melakukan hal-hal yang saya ingin lakukan saat Mama masih normal dulu. Belanja bareng Mama, rekreasi bareng Mama, masak & bikin kue bareng Mama, ngegosip ama Mama.

Saya seolah-olah mencengkeram erat potret Mama yang ideal dan sehat. Bertanya-tanya kapan Mama akan pulih 100%? Kapan kami akan belanja bareng ke Pasar Atum lagi? Ketika melihat Mama maju, hati saya senang. Ketika melihat Mama terpuruh, hati saya sedih. Perasaan saya dipermainkan oleh kemelekatan. Padahal, kalau dilihat apa iya Mama sedih dengan keadaannya sekarang ini? Ya belum tentu :) Mungkin Mama pun sudah berdamai, namun saya yang tidak terima.

Bingung? :D Berat yaaa bahasannya hahahahhah

Yah, in the end, maksud dari refleksi saya adalah :

1. Belajar tidak melekat (ingat, semua yang ada di sekitar kita atau yang melekat dalam diri kita bahkan roh kita, itu cuma anugerah, cuma karunia)

2. Mindful activity, lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan saat ini juga, no procastination ya :) Kangen Papa? Telpon, video call. Mau membantu orang? Sekarang! Pengen memeluk suami? Lakukan sekarang (kalau bisa ya hahaha, maksudnya kalau sama-sama di kantor ya mana bisa ye gak?)

Mungkin teman-teman mikir juga ya, ah jangan jadi orang yang terlalu baik ama keluarga. Yang ada malah kalau kita meninggalkan mereka, mereka bisa nangis kejer dan bahkan bisa aja ga rela. Ya kan? Coba tuh kalau yang meninggal anggota keluarga yang toxic haha Mungkin keluarganya bakal bersyukur dan bersorak ya :D Ets.....iya kalau itu kita duluan yang berangkat, lha kalau orang yang kita kasihi yang berangkat duluan. Coba, apa ga menyesal? ^^

Jadi ya, saya bersyukur banget, 2021 Mama kena anxiety itu, koq saya nurut nasehatnya Suster, telpon lah setiap hari. Seneng banget punya sore yang ditunggu-tunggu, ngobrol ama Mama. Sekarang saya pun masih berharap Mama bisa pulih 100% ya :) tapi saya tidak akan melekat, saya serahkan ke Tuhan. Ya saya lakukan yang saya bisa, itu aja. Mengurangi 'damage' yang saya alami di 2022 kemarin. Itu ya resolusi saya di 2023 : lebih rajin & lebih bebas (tidak melekat)



Life is a mistery, but it's worth to live for.


Have a blessed evening


DPS pamit