Rabu, 06 November 2013

Menjadi Pohon Anggur Yang Berbuah - 1st anniversary on my mind

Haiiii *melambaikan tangan*


Dalam rangka memperingati *alamak....bahasanya hahaha* 1st anniversary kami, saya berusaha membuat permenungan, tidak hanya untuk saya sendiri, tapi juga untuk teman-teman ( agar sekali lagi tidak termehek-mehek oleh realita yang nampak dari perkawinan teman lain yang nampaknya begitu indah bak Cinderella & Prince Charming )



Kehidupan perkawinan kami, entah sengaja atau tidak, bisa mirip 'plek' ama bacaan Injil di kawinan kami, Yoh 15 : 1-17 Dan seolah-olah, tak pernah lelah pula saya mengingatkan diri saya sendiri, bahwa untuk menjadi berbuah ranting-ranting memang harus dibersihkan (plek pula ama khotbah Rm. Widi setahun lalu) Dibersihkan, jelas sakit kan. Iya kalo bersihinnya cuma celup-celup, lap-lap mandi bebek =p Ini kan ranting dipotong, biar berbuah. Begitulah saya belajar mengerti & menerima Hadi, tentunya sama aja di pihak sebelah sana (Hadi menerima saya :D)


Perbedaan sifat, cara pandang, latar belakang membuat kami mempunyai pendekatan yang berbeda
pada setiap masalah. Hadi lebih hemat, minimalis (termasuk dalam usaha pun maunya ya minimal, ga mau repot) Dihadapkan dengan saya yang boros, maksimal cenderung lebay (dalam usaha pun juga masalahnya cuma sebesar kutu, kalau bisa pakai nuklir ya saya bombardir tu kutu pakai nuklir) Lucunya, bahasa kasih kami pun berbeda, apalagi bahasa minta maaf. Hadi dari sebelum nikah tetap di quality time (kelihatannya, soalnya suka manyun kalo saya asik sendiri) sementara saya berat di act of service (hobby nyuruh-nyuruh, hahahaha) & seiring dengan menikah, kadar gift nya bertambah. Kadang sebel, pengen Jco, bilang ke Hadi, ngarep dibeliin, cuma omelan yang saya terima. "Aduh...aku kan ga tau kudu beli di mana? Kamu kan bisa beli sendiri? Punya mobil, punya uang. Kenapa harus aku yang beliin?" Sempat terpikir, cinta gak sih si suami ini ama saya? Jco aja dia ga mau beliin? Terkadang saat sensi, ucapan Hadi yang straight forward, membuat saya sedih. Saat pengen ditemenin beli jajan dia bilang pergi aja sendiri, saat saya menanyakan nanti kalau diculik bagaimana? Dengan setengah bercanda dia mengingatkan super me, tendang aja kan beres.


Banyak hal yang membuat perjalanan cinta kami tidak berjalan seindah dongeng Cinderella, and they live happily ever after. Lalu, teman-teman bertanya, apakah saya tidak bahagia hidup dengan si kutu kupret itu? *bercanda sweety....hahaha* Oh, pasti dengan egoisnya saya bisa bilang bahwa, i did everything good, but he never ever do good. Saya belajar, bahwa untuk membuat orang lain bahagia tidaklah instan. He lived in Tegal, meanwhile i lived in Surabaya. Ya, mungkin di benak Hadi yang simple, dia telah membahagiakan saya, dengan menjadi suami yang setia, cinta Tuhan, dan bekerja menafkahi kami sekeluarga, mematuhi aturan-aturan yang saya tetapkan (termasuk kadang merelakan diri dipalak :D piss beruang maduku, hihihihihi) Sama juga dengan saya, yang berusaha membuat Hadi bahagia dari segi saya sendiri, memasak, membiayai keperluan belanja pribadi saya, berusaha hemat, memberikan little surprised buat dia. Ya, kami tak akan pernah sama. Karena kami 2 manusia yang berbeda.


Tak hanya soal relationship, cita-cita mempunyai anak pun belum terwujud sudah. Kemarin dengan terpingkal-pingkal saya menceritakan usaha kami untuk punya anak di group teman-teman SMP yang kebetulan juga ada 2 pasang yang belum dikaruniai anak. Ya, kami sudah berusaha yang terbaik (walau belum kontrol balik ke dokter, karena menurut Hadi belum perlu) namun apalah Tuhan belum memberikan. Apa iya, lantas saya bilang Tuhan jahat? Astaga... sungguh keterlaluannya kami, bisa hidup berkecukupan sampai detik ini juga karena rejeki dari Tuhan.


Pantaskah saya mengomel akan pernikahan kami yang tidak sempurna sementara banyak teman-teman yang mengharapkan untuk menikah? Pantaskah saya menggerutu kenapa saya tidak diberikan anak sementara begitu banyak rejeki dalam bentuk lain yang kami terima?


Tadi siang saya membaca sebuah artikel, bahwa pernikahan bukan untuk orang yang egois. Pernikahan bukan soal, apakah saya akan bahagia bila bersamanya, namun lebih ke apakah dia bahagia bersama saya? Lalu, apakah permasalahan akan berhenti begitu saja dan terselesaikan? Tentu saja tidak, kami adalah 2 orang yang berbeda. Pikiran saya ingin membuat Hadi bahagia adalah dengan menjadi orang yang mandiri dan memberikan beberapa kejutan kecil buatnya. Apakah itu sesuai dengan Hadi? Mungkin tidak. Lalu, apakah kita makhluk yang begitu menyedihkan sehingga hanya kebahagiaan orang lain yang kita pikirkan sementara kita sendiri tidak usah bahagia? Cinta adalah pengorbanan? I don't think so, menikah adalah untuk bahagia, membahagiakan orang lain dan juga membahagiakan diri sendiri.


Caranya? Jadi diri sendiri, ets...tapi ada embel-embelnya. Berusahalah menjadi diri yang terbaik. Bukan lantas, ini diriku apa adanya, kan kamu udah mau nikahin saya, ya terima saya apa adanya dong. Jangan heran kalau pasangan pun berlaku demikian seperti yang teman-teman pikirkan. Lantas apa iya bahwa pernikahan adalah sebuah ajang peperangan, dimana di satu pihak, terima aku apa adanya, dan di pihak lain bersikukuh, ets...kamu dong yang terima aku apa adanya? Hm....sepertinya si manis setan pihak ketiga mulai mengintip dengan senyum lebarnya, eh.....saya bisa terima kamu apa adanya loh.....


Jadi, ketika saya di tanya, apakah saya bahagia menikah & menjadi istri Hadi? Saya bahagia & saya masih sadar konsekuensi ke depannya ^_^ Nah, buat teman-teman yang sedang merencanakan menikah atau ingin menikah (gak koq, saya ga bakalan bilang, yakin lo pada mau nikah? hahahahaha) Saya cuma bilang, ya...pernikahan itu hanya sebuah situasi koq. Sama ketika kita hidup dalam keluarga kita. Mereka tidak akan pernah bisa sempurna di mata kita, tapi kita bersyukur dengan adanya mereka. Kadang membuat kita bahagia, kadang membuat kita sedih =) Harap maklum, manusia makhluk paling rewel toh, even Tuhan aja ga bisa memuaskan kehendak kita (terlalu yah, hahahahahaha)


Tetap semangat!

4 komentar: